Raflis

Menuju Masa Depan Yang Lebih Baik

  • Pages

  • Archives

  • Meta

Persiapan Penggunaan Lahan dalam REDD+

Posted by raflis on August 6, 2012

Persiapan Penggunaan Lahan Dalam REDD+

(Studi Kasus Provinsi Riau)

Oleh: Raflis

(Transparency International Indonesia Local Unit Riau)

Dimuat dalam: Suara Bumi Th VIII/Edisi 2, April-Juni 2012 Halaman 17-21

Download Dokumen: Penggunaan lahan REDD+

Pendahuluan

Komitmen penurunan emisi Indonesia sebesar 26%-41% dari BAU (Business As Usual) pertama kali di umumkan di Pittsburgh dalam sebuah pertemuan negara-negara yang tergabung dalam G20, pada September 2009. Pengumuman atas komitmen tersebut mendapat sambutan yang cukup hangat dari negara-negara anggota G20, bahkan dunia internasional yang berharap komitmen tersebut akan mengubah dinamika perundingan perubahan iklim menjadi lebih maju.

Komitmen penurunan emisi Indonesia mendapat sambutan baik dari negara donor terutama Norwegia untuk membantu terwujudnya penurunan emisi tersebut. Hal tersebut bermuara pada sebuah penandatanganan Surat Niat (Letter of Intent) dimana Norway akan mengucurkan dana sebesar U$1 milliar serta Indonesia akan melaksanakan beberapa hal antara lain, Memilih propinsi percontohan; Merancang Strategi Nasional untuk REDD+; Mendirikan Lembaga Pelaksana REDD; Membangun mekanisme dan lembaga untuk Monitoring, Pelaporan dan Verifikasi (MRV); serta Membangun Lembaga Pendanaan serta mekanisme distribusi.

REDD+ ibarat pisau bermata dua, jika dimanfaatkan dengan baik untuk perbaikan tata kelola kehutanan maka akan berdampak positif terhadap kesejahteraan rakyat. Namun apabila dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan tertentu untuk mempertahankan praktek buruk pengelolaan hutan dimasa lalu akan berdampak sangat buruk serta berpotensi memunculkan gejolak social dan gelombang ketidak percayaan terhadap pemerintah[i]

Sampai saat ini persoalan fundamental di sector kehutanan adalah tidak adanya kepastian status dan fungsi kawasan hutan yang berdampak pada konflik tenurial dan tumpang tindih perizinan. Secara umum inisiatif pemerintah untuk menjawab persoalan diatas sampai saat ini adalah melakukan revisi rencana tata ruang provinsi dan kabupaten serta melakukan moratorium perizinan melalui Inpres No 10 tahun 2011. Sementara itu kebutuhan mendasar dalam menetapkan kawasan yang dapat dialokasikan untuk REDD adalah kejelasan status dan fungsi kawasan hutan serta kejelasan regulasi. (lihat gambar 1)

 

Gambar 1. Pentingnya Kejelasan Kawasan yang dapat dialokasikan untuk REDD+

 

 

 

 

Kepastian Hukum Kawasan Hutan Saat Ini

Kepastian hukum kawasan hutan ditegaskan dalam Pasal 5 “Satus dan Fungsi Kawasan Hutan” UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Lebih kurang 13 tahun sampai saat ini semenjak UU kehutanan ditetapkan belum ada upaya untuk menegaskan status kawasan hutan, sedangkan fungsi kawasan hutan masih menggunakan kepmen 173 tahun 1986 tentang Penunjukan Kawasan Hutan yang lebih dikenal dengan istilah TGHK. (Lihat Gambar 2)

 

Gambar 2. Status dan Fungsi Kawasan Hutan

Penegasan status maupun fungsi kawasan hutan sampai saat ini tidak pernah dilaksanakan, baik itu oleh pemerintah daerah maupun oleh departemen kehutanan. Yang terjadi adalah penafsiran yang keliru dilakukan oleh kementrian kehutanan tentang status hukum kawasan hutan yang terdapat pada pasal 1 poin 3 UU No 41 tahun 1999 (Baca Putusan Mahkamah konstitusi No.45/PUUIX/ 2012). Selain itu istilah yang selalu digunakan adalah Status dan Fungsi kawasan hutan, namun hanya menjelaskan tentang fungsi kawasan hutan (lihat pasal 5 UU 41 tahun 1999), sedangkan statusnya dianggap keseluruhannya merupakan hutan negara tanpa dilakukan proses inventarisasi secara teresteris untuk membuktikan aspek penguasaan hutan.

 

Status Kawasan Hutan

Status kawasan hutan menegaskan tentang penguasaan kawasan hutan yang menjelaskan tentang Hutan Negara dan hutan hak, disamping itu juga mempertegas tentang hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan adat serta hutan rakyat. Sampai saat ini tidak ada data yang menjelaskan tentang status kawasan hutan tersebut (Lihat table 1).

 

Tabel 1. Status Kawasan Hutan

No Status Hutan Prasyarat Keterangan
1.a Hutan Adat (Hutan Negara) Peta Batas Wilayah Adat Dikelola sesuai dengan masyarakat hukum adat
1.b Hutan Kemasyarakatan (Hutan Negara) Kebijakan Pemerintah Untuk Pemberdayaan Masyarakat
1.c Hutan Desa (Hutan Negara) Peta Batas Administrasi Desa Untuk kesejahteraan Desa
1.d Hutan Negara yang tidak dibebani hak penguasaan lain Setelah dikurangi hak penguasaan lain  
2 Hutan Rakyat (Hutan Hak)    

 

Penegasan status kawasan hutan sangat penting untuk menghindari terjadinya konflik tenurial, sebagai dampak dari tidak dilakukannya penegasan status kawasan hutan mengakibatkan tingginya konflik tenurial dalam kawasan hutan serta menghilangkan hak asal usul dari masyarakat adat sebagai pemilik kedaulatan wilayah. Fihak yang diuntungkan dalam hal ini adalah actor yang mempunyai modal dan menguasai sumberdaya lahan dalam skala besar serta pejabat yang berwenang memberikan izin terhadap lahan.

 

Fungsi Kawasan Hutan

Terdapat 4 peta yang menggambarkan fungsi kawasan hutan yang berbeda satu sama lain diantaranya: 1)Rencana Tata Ruang Nasional, 2) TGHK, 3)Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), 4) Rencana Tata Ruang Kabupaten (RTRWK). Walaupun terdapat perbedaan diatas peta namun dari criteria dari masing masing fungsi kawasan tidaklah berbeda terlalu jauh. (Lihat Tabel 2)

 

Tabel 2. Kriteria Fungsi Kawasan Hutan

Fungsi Kawasan

TGHK/

Penunjukan

Tata Ruang

RTRWN

RTRWP

RTRWK

Hutan Konservasi Kriteria khusus Kriteria khusus Kriteria khusus Kriteria khusus
Hutan Lindung Skor > 175 Skor > 175 Skor > 175 Skor > 175
Lindung Gambut _ >3 meter >3 meter >3 meter
Hutan Produksi Terbatas (HPT) Skor 125-174 Skor 125-174 Skor 125-174 Skor 125-174
Hutan Produksi (HP) Skor < 124 Skor < 124 Skor < 124 Skor < 124
Hutan Produksi Konversi/ Peruntukan Lain Skor < 124 Skor < 124 Skor < 124 Skor < 124
Catatan: Skoring ditentukan berdasarkan perkalian factor curah hujan, jenis tanah dan kemiringan.

 

Pada gambar 3 terlihat bahwa terjadi gap antara TGHK dan tata ruang, disamping itu juga ada gap antara sesame rencana tata ruang secara vertical. Gap ini seharusnya tidak muncul seandainya proses pembuatan peta masing masing mengacu pada criteria seperti yang tercantum pada table 2. Selain itu sebelum fungsi kawasan hutan selesai dikukuhkan sudah dikeluarkan izin pemanfaatan hutan yang diikuti oleh perubahan fungsi sesuai dengan keinginan si pemohon izin. Perubahan fungsi sesuai dengan kepentingan ini dikenal dengan istilah TGHK update yang sampai saat ini tidak mempunyai dasar hokum, tetapi justru digunakan sebagai bahan untuk melakukan revisi tata ruang provinsi dan kabupaten. Penyimpangan secara terstruktur ini erat kaitannya dengan korupsi.

 

 

Status dan Fungsi Kawasan Hutan

Secara umum status dan fungsi kawasan hutan tidak dapat saling dipertukarkan, namun dapat ditumpangtindihkan satu sama lain. Lihat Tabel

 

No Status dan Fungsi Status Fungsi
1 Hutan Adat dengan fungsi konservasi Hutan Adat Hutan Konservasi
2 Hutan Adat dengan Fungsi Lindung Hutan Adat Hutan Lindung
3 Hutan Adat dengan fungsi Produksi Terbatas Hutan Adat Hutan Produksi Terbatas
4 Hutan Adat dengan fungsi Produksi Tetap Hutan Adat Hutan Produksi Tetap
5 Hutan Adat dengan fungsi Produksi Konversi Hutan Adat Hutan Produksi Konversi
6 Hutan Desa dengan Fungsi Konservasi Hutan Desa Hutan Konservasi
7 Hutan Desa dengan fungsi lindung Hutan Desa Hutan Lindung
8 Hutan Desa dengan fungsi Produksi Terbatas Hutan Desa Hutan Produksi Terbatas
9 Hutan Desa dengan fungsi produksi Tetap Hutan Desa Hutan Produksi Tetap
10 Hutan Desa dengan fungsi produksi konversi Hutan Desa Hutan Produksi Konversi
11 Hutan Kemasyarakatan dengan Fungsi Konservasi Hutan Kemasyarakatan Hutan Konservasi
12 Hutan Kemasyarakatan dengan Fungsi Lindung Hutan Kemasyarakatan Hutan Lindung
13 Hutan Kemasyarakatan dengan Fungsi Produksi Terbatas Hutan Kemasyarakatan Hutan Produksi Terbatas
14 Hutan Kemasyarakatan dengan fungsi Produksi Tetap Hutan Kemasyarakatan Hutan Produksi Tetap
15 Hutan Kemasyarakatan dengan fungsi Produksi Konversi Hutan Kemasyarakatan Hutan Produksi Konversi
16 Hutan Negara Bebas dengan Fungsi Konservasi Hutan Negara Bebas Hutan Konservasi
17 Hutan Negara Bebas dengan Fungsi Lindung Hutan Negara Bebas Hutan Lindung
18 Hutan Negara Bebas dengan Fungsi Produksi Terbatas Hutan Negara Bebas Hutan Produksi Terbatas
19 Hutan Negara Bebas dengan Fungsi Produksi Tetap Hutan Negara Bebas Hutan Produksi Tetap
20 Hutan Negara Bebas dengan fungsi Produksi Konversi Hutan Negara Bebas Hutan Produksi Konversi
21 Hutan Rakyat dengan fungsi Konservasi Hutan Rakyat Hutan Konservasi
22 Hutan Rakyat dengan fungsi lindung Hutan Rakyat Hutan Lindung
23 Hutan Rakyat dengan fungsi Produksi Terbatas Hutan Rakyat Hutan Produksi Terbatas
24 Hutan Rakyat dengan fungsi Produksi Tetap Hutan Rakyat Hutan Produksi Tetap
25 Hutan Rakyat dengan fungsi Produksi Konversi Hutan Rakyat Hutan Produksi Konversi

 

Dalam prakteknya status dan fungsi kawasan hutan identik dengan fungsi kawasan hutan, dengan asumsi bahwa seluruh kawasan hutan yang ada adalah hutan Negara tanpa ada upaya penegasan status kawasan hutan tersebut.

 

Penyimpangan Pemberian Izin pada Kawasan Hutan

Tidak adanya ketegasan status dan fungsi kawasan hutan berdampak pada ketidakpastian hokum kawasan hutan. Dengan belum adanya kepastian hokum atas kawasan hutan, jika mengacu pada azas pemerintahan yang baik seharusnya tidak ada izin yang dapat dikeluarkan pada kawasan hutan baik itu merupakan izin konsesi maupun izin lingkungan.

 

Dari hasil analisis spasial terhadap Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) ditemukan pelanggaran terhadap RTRWN seluas 1.017.954 ha (54,46% dari total perizinan), TGHK seluas 450.061 ha (24,09% dari total perizinan), RTRWP seluas 425. 827 ha (22,79% dari total perizinan) dan Kawasan bergambut seluas 584.837 ha (31,30% dari total perizinan). Pelanggaran ini juga sekaligus menjawab legalitas pemberian izin lingkungan dan penyusunan AMDAL terhadap perusahan pemilik IUPHHK-HT. Sesuai dengan mandate UU No 26 tahun 2007 maka 1.017.954 ha IUPHHK-HT yang melanggar RTRWN 926.584 ha (91,02 %) batal demi hukum dan 55.370 ha (0,54 %) dibatalkan dengan konpensasi[ii].

 

Revisi Rencana Tata Ruang Provinsi

Proses penyusunan rencana tata ruang provinsi riau sudah dimulai sejak tahun 2000, namun sampai saat ini (Juni 2012) belum dapat disyahkan karena terjadi konflik kepentingan penguasaan ruang antara kementrian kehutanan, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Hal ini diwarnai oleh upaya untuk menutupi keterlanjuran pemberian izin yang tidak sesuai dengan ketentuan dimasa lalu yang berpotensi dibatalkan dan batal demi hokum menurut UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Dari analisis spasial atas pelanggaran IUPHHK-HT terhadap RTRWN (926.584 ha), 83,93% diantaranya diputihkan dalam draft RTRWP 2008-2028[iii]. Disamping itu, jika UU No 26 tahun 2007 dan PP No. 26/2008 diterapkan, maka terdapat 2.295.300 ha perizinan yang perlu ditertibkan diantaranya seluas 1.570.700 ha IUPHHK-HT dan seluas 724.600 ha ijin perkebunan[iv].

 

Momentum positif dari UU 26 tahun 2007 ternyata tidak ditaati oleh kementrian kehutanan dengan mengeluarkan Permenhut No. P.28/ Menhut-II/2009 tentang persetujuan substansi kehutanan terhadap Rencana Tata Ruang Provinsi. Kebijakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya PP No 10 Tahun 2010 tentang Persetujuan Substansi Perubahan Fungsi Kawasan Hutan terhadap RTRWP. Sementara itu proses pengukuhan kawasan hutan tidak pernah diselesaikan. Supaya RTRWP bias ditetapkan maka perlu dilakukan perubahan fungsi kawasan hutan. Untuk itu mentri kehutanan membentuk tim terpadu dan melakukan kajian atas usulan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan seluas 989.135 ha dan perubahan peruntukan seluas 3.155.585 ha.[v]

Revisi rencana tata ruang dimanfaatkan oleh pemilik izin skala besar untuk melindungi perizinan yang diperoleh secara tidak benar karena mandate penertiban perizinan dalam UU No 26 tahun 2007. “Pasal 37 ayat 3: Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum.” Sementara kepentingan dari departemen kehutanan adalah untuk melindungi pemberian izin yang tidak sesuai dengan ketentuan dan sekaligus melindungi praktek korupsi perizinan.

 

Moratorium Perizinan

Menjawab buruknya tata kelola hutan, pada tanggal 20 Mei 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Inpres 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, yang lebih dikenal dengan sebutan “Moratorium”. Inpres ini adalah sebuah jeda (breathing space) dengan tujuan yang lebih luas daripada sekedar menunda izin. Inpres ini juga menyempurnakan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut, baik pada Kawasan Hutan maupun Areal Penggunaan Lain. Tindak lanjut dari inpres ini kementrian kehutanan mengeluarkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) yang diperbaharui setiap 6 bulan sekali. Secara umum persamaan matematis untuk pembuatan PIPIB adalah:

 

PIPIB = (Hutan Alam Primer + Lahan Gambut) – Perizinan Eksisting

 

Sampai saat ini (Juni 2012) telah dikeluarkan 3 versi PPIB melalui SK.323/Menhut-II/2011;  SK.7416/Menhut-VII/IPSDH/2011, dan SK.2774/Menhut-VII/IPSDH/2011. Menurut Nirarta Samadhi, Ketua Pokja Monitoring Moratorium Satgas REDD+ “Jika ada pergeseran angka luasan wilayah moratorium yang termuat dalam PIPIB, maka penyebabnya adalah penyempurnaan informasi spasial atas ketiga elemen persamaan tersebut.” PIPIB juga dapat digunakan untuk melakukan kaji ulang atas perizinan, beberapa langkah yang dapat ditempuh diantaranya:

  1. Dalam situasi dimana kawasan hutan yang menjadi obyek perizinan tersebut adalah hutan alam primer, hutan lindung/perlindungan alam dan lahan gambut, dimana proses perizinannya dipastikan benar, maka dapat dilakukan pertukaran lokasi ke lokasi yang lebih tepat (land swap);
  2. Dalam situasi seperti tersebut pada butir a, namun dengan proses perizinan yang tidak benar, maka dapat dilakukan pencabutan perizinan;
  3. Dalam situasi seperti tersebut pada butir a, namun dengan keputusan untuk melakukan perubahan status/kelas hutan yang memungkinkan dilakukan penerbitan perijinan, maka pemanfaatan kawasan hutan atau lahan gambut tersebut harus memenuhi syarat-syarat teknis lingkungan yang didasari pada upaya penurunan emisi gas rumah kaca.

 

Dari ketiga peta moratorium yang sudah dikeluarkan belum menggambarkan upaya perbaikan tata kelola kehutanan menuju kearah kepastian hokum kawasan hutan, hal ini dapat dilihat dari:

  1. Penundaan izin baru tidak berlaku terhadap usulan perubahan fungsi kawasan hutan dalam revisi rencana tata ruang wilayah provinsi.
  2. Peta rencana tata ruang wilayah nasional tidak dijadikan sebagai sumber data Peta Indikatif Penundaan Izin Baru
  3. Peta Indikatif Penundaan Izin Baru masih mengecualikan perizinan eksisting yang melanggar rencana tata ruang maupun TGHK/ penunjukan kawasan hutan.
  4. Tidak ada penjelasan metodologi pembuatan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru, serta data yang digunakan tidak dipublikasikan sehingga akuntabilitas data dan metodologi patut untuk dipertanyakan.
  5. Penunjukan kementrian kehutanan sebagai penanggungjawab pembuatan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru memiliki konflik kepentingan, karena juga merupakan lembaga yang bertanggungjawab atas ketidak pastian kawasan hutan dan pemberian izin yang tidak sesuai dengan ketentuan, dikhawatirkan akan muncul upaya untuk melindungi kebijakan yang salah dimasa lalu.

 

Apa yang harus dilakukan?

Inisiatif yang saat ini dilakukan baik berupa revisi rencana tata ruang provinsi maupun moratorium perizinan belum menjawab substansi kepastian hokum kawasan hutan. Pihak yang merasa diuntungkan dengan situasi saat ini berusaha membenturkan aturan perundangan satu sama lain sehingga tidak efektif untuk dilaksanakan. Untuk itu dibutuhkan kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk menyelesaikan beberapa persoalan diatas. Beberapa hal yang dapat dilakukan diantaranya:

  1. Memproduksi data dan peta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah yang dapat dengan mudah diakses oleh public
  2. Mempertegas fungsi kawasan hutan melalui proses pengukuhan kawasan hutan yang didahului oleh reskoring kawasan hutan.
  3. Mempertegas status kawasan hutan melalui proses inventarisasi kawasan hutan dan survey lapangan
  4. Menyelesaikan gap antara fungsi kawasan hutan dan tata ruang baik nasional, provinsi maupun kabupaten.
  5. Menghentikan proses revisi rencana tata ruang yang saat ini sedang berlangsung
  6. Menerbitkan pedoman audit perizinan yang melanggar ketentuan serta melakukan penegakan hokum terhadap actor yang terlibat.

 


[i] Transparency International Indonesia 2012

[ii] Raflis 2011; Menyerahkan Hutan Kepangkuan Modal

[iii] Raflis, 2011; Menyerahkan Hutan Kepangkuan Modal

[iv] Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup; Review Raperpres RTTR Sumatera terhadap KLHS

[v] Statistik Planologi Kehutanan 2010

Leave a comment